Kamis, 27 Maret 2014

Lagi Iseng


  • Orang yang gagah perkasa itu bukan orang yang bertubuh kekar melainkan orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika marah.
  • kebanyakan orang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka ke titik sukses saat mereka memutuskan untuk menyerah.
  • Orang sukses takkan pernah mengeluh bagaimana kalau akan gagal,namun berusaha bagaimana untuk berhasil.
  • Genggamlah bumi sebelum bumi menggengam anda, pijaklah bumi sebelum bumi memijak anda,maka perjuangkanlah hidup ini sebelum anda memasuki perut bumi.
  • Jangan sesali apa yang telah terjadi kemarin, tapi jika kamu tak mampu menjadi lebih baik hari ini, kamu patut menyesali.
  • Kebencian hanya merugikan diri sendiri, tersenyumlah ketika disakiti. Hati tanpa benci membentuk jiwa yang tegar dan damai.
  • Pernikahan samasekali bukan akhir dari rangkaian cerita "cinta" yang selama ini anda rajut karena sebenarnya anda belum memulai apapun.
  • Berbahagialah anda jika masih bisa merasa sedih karena itu artinya anda siap menerima kebahagiaan.
  • Salah satu hal tersulit dalam hidup adalah tetap menjadi dirimu sendiri ketika semua orang berusaha mengubahmu menjadi orang lain.
  • Hidup ini pilihan. Apapun yang membuatmu sedih, tinggalkanlah...tanpa rasa takut akan hilangnya kebahagiaan di masa depan.
  • Janganlah berdoa untuk hidup yang mudah, tetapi berdoalah untuk menjadi manusia yang tangguh.


Rabu, 19 Februari 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 3)


Sabtu, 11 Januari 2014

Tentu saja normal kalau saya bersedih atas hilangnya kebebasan di ruang tahanan. Tidak bisa berinteraksi normal dengan istri, anak-anak, dan keluarga besar. Tidak bisa bergaul dengan teman-teman dan para sahabat. Ruang hidup menjadi sempit, dibatasi tembok, pintu, petugas jaga, dan kewenangan penyidik. Ringkas kalimat, irama kehidupan berganti dari merdeka menjadi tidak merdeka. Status tahanan, berbaju kebesaran tahanan KPK, ditempatkan di kamar yang untuk sementara tidak boleh keluar sama sekali—makan, minum,  mandi, salat, dan tidur di tempat yang sama. Transformasi drastis dari kesempatan menjadi kesempitan.
Alhamdullilah, sedihnya adalah sedih biasa. Bukan sedih yang tak terkendali. Tidak perlu murung, marah-marah, atau bersungut-sungut. Sedih manusiawi yang harus dikelola menjadi energi positif. Saya meyakini ini adalah suratan takdir yang telah ditulis Gusti Allah dalam ketetapan-Nya. Ya, harus dilalui, dihadapi, dilewati dengan ikhlas dan penuh ikhtiar mencari dan menemukan keadilan. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh tanpa pengetahuan dan ketetapan Tuhan, apalagi atas diri seorang manusia bernama Anas. Pasti semuanya sudah sesuai tulisan takdir Tuhan.
Saya teringat ayat Tuhan, "Apa yang tidak kamu sukai belum tentu buruk buat kamu.Kira-kira intinya begitu. Saya berusaha husnudzan semoga peristiwa ini menjadi jalan untuk menemukan ilmu dan hikmah yang diajarkan Tuhan di tempat-tempat sempit dan jauh dari kesenangan dan kenyamanan.
Sabar menjadi penting. Katanya, sabar itu bagian penting dari iman. Sabar terhadap musibah, kesedihan, kekurangan, kesempitan, ketakutan adalah ajaran iman yang penting. Orang baru berteori dengan sabar ketika belum dapat musibah. Ketika datang musibah, sabar menantang untuk dipraktikkan.
Di ruang tahanan ini ada kesempitan, di tempat lain mungkin ada kesempitan yang lebih. Di sini ada kesedihan. Di tempat lain pasti ada kesedihan juga. Di sini ada ketidaknyamanan, di tempat lain menyebar pula ketidaknyamanan. Bahkan mungkin di tempat-tempat kesenangan dan kekuasaan, di sini ada pula ketakutan dan ketidaknyamanan, karena tenang adalah urusan jiwa. Di tempat yang tenang dan nyaman belum jaminan ada jiwa yang tenang pula. Barangkali banyak yang tidak bisa tidur pulas, tidak seperti nikmat yang saya rasakan di ruang tahanan ini pada malam pertama. (Bersambung)

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 2)

Sabtu, 11 Januari 2014

"Pak Haji, sudah jam empat pagi," begitu suara keras Timur Pakpahan membangunkan saya.
"Iya, Bang, terima kasih," saya menyahut.
Saya memang berpesan kepada Timur untuk membangunkan kalau sudah jam empat pagi. Alhamdulillah, permintaan itu dipenuhi dengan baik.
Malam pertama ditahan ternyata tidur saya nyenyak. Bahkan lebih awal tidur dari waktu biasanya. Jika hari-hari biasanya tidur jam satu dini hari ke atas, tadi malam saya sudah tertidur sekitar jam 23.00. Tidur pulas, tidur berkualitas. Kok bisa? Rupanya Gusti Allah kasih anugerah tidur pulas berkualitas.
Setelah salat subuh, kembali saya tidur. Sekitar jam tujuh, saya bangun karena ada suara Timur lagi. Dia mengenalkan petugas jaga penggantinya. Namanya Thohari, orang Trenggalek. Sama dengan Timur, rupanya Thohari adalah pensiunan tentara.
"Kulo asli Trenggalek, Pak Anas," begitu Thohari mengenalkan asalnya.
"Nggihtonggo dhewe," saya merespons dengan bahasa Jawa. Dia juga menyebut bertetangga dengan Priyo Budi santoso di Trenggalek.
Muncul pula Rudi Rubiandini, masih pakai kopiah putih. Rupanya mau mengaji. setelah berbaik hati kemarin malam meminjamkan sajadah, sarung, dan handuk. Hari ini, saya dipinjamkan buku-buku dan majalah. Alhamdulillah. Terima kasih, Prof.
Ada buku Tadabbur Al QuranObat Penawar Hati yang Sedih, majalah Trubus,Time, dan Traveller. Sungguh buku dan bahan bacaan menjadi teman berharga di tahanan.
Buku dan bacaan adalah menu untuk pikiran. Salat dan zikir bagiannya hati. Lalu, bagaimana dengan urusan perut ? Terus terang tadi malam saya sengaja tidak makan. Soalnya, kiriman makanan karena satu dan lainnya hal belum bisa sampai. Hanya kiriman pakaian, roti, dan air minuman kemasan yang tiba. Di ruang pemeriksaan, saya tidak makan, tidak minum, meskipun disediakan. Di dalam ruangan tahanan juga ada jatah makan malam: nasi merah, sayur, dan telur rebus. Saya hanya ambil telur rebusnya. Alhamdulillah, Rudi memberi saya roti, wafer, dan kue mirip kue bolu. Itu yang, bismillah, saya sikat. Bukan urusan lapar atau tidak lapar. Ini hanya urusan berhati-hati. Berhati-hati saja kadang kala terpeleset, apalagi kalau ceroboh.
Sebagai tahanan, pagi ini saya dapat jatah kue nagasari. Ada tiga biji dikemas dalam kotak plastik. Sebetulnya kue nagasari termasuk enak dan favorit saya, tetapi saya tidak sentuh. Sisa wafer tadi malam saya habiskan. Tetapi yang namanya rezeki kalau mau datang, ya, datang saja.Rupanya Budi Santoso dan Rudi sarapan bareng. Saya dapat kiriman nasi bungkus ikan cakalang. Saya tidak tahu dipesan dari mana, tapi yang jelas rasanya maknyus. Terhadap nasi bungkus itu saya husnudzan saja dan menjadi menu sarapan pagi yang bersejarah: makan pagi pertama di ruang tahanan.
Nasi bakar cakalang itu kembali hadir saat makan siang. Berarti ketika sarapan ada stok sisa untuk jatah makan siang. Jatah makan siang resmi dari KPK tidak saya makan. Tentu saja tidak boleh mubazir dan ada caranya agar tidak mubazir dan tetap bermanfaat. Makan siang makin spesial karena ada minuman cokelat panas. Rupanya Rudi hobinya cokelat panas. Kalau Wawan lebih suka wejang jahe panas.
Jadi untuk urusan makan minum, alhamdulillah, tidak ada masalah. Para senior, Prof Rudi, Kang Wawan, dan Mas Budi berbaik hati. Mungkin kasihan ada yunior yang belum bisa dapat kiriman dari keluarganya. Selebihnya pasti karena terpanggil perasaan senasib dikurung di lantai bawah Gedung KPK.
Hari ini pula saya sempat baca koran. Tentu saja, semua berita utamanya tentang Anas, dengan gaya penulisan masing- masing dan arah politik redaksinya sendiri-sendiri. Foto yang paling dramatis ada di Koran Tempo. Gambarnya adalah Anas yang kaget dilempar telur. Gambarnya menarik dan dramatis. Lalu, saya teringat peristiwa tadi malam. Selain memberi keterangan pers sedikit sebelum masuk ke ruang tahanan, dalam kondisi terjepit dan berdesak-desakan ada orang memukul pakai telur. Tangannya hanya sedikit menyentuh kepala, telurnya yang telak. Rasanya seperti keramas pakai telur. Inilah yang boleh disebut Jumat Keramas.
Sesampai di Posko Rutan KPK, saya tanya, siapa tadi yang memukul pakai telur. Tidak ada yang tahu siapa orangnya. Saya hanya pesan kepada petugas keamanan KPK yang mengantar saya agar yang bersangkutan jangan diapa-apakan. Saya khawatir ada yang memukul balik. Dari koran baru ketahuan, yang bersangkutan bernama Aryanto, Ketua LSM Gempita, Palmerah, Jakarta Barat. Apa pun motifnya, apakah inisiatif pribadi atau ada yang menyuruh, Aryanto tidak perlu diapa-apakan. Saya mendoakan semoga apa yang dilakukan itu mendatangkan kepuasan bagi dirinya atau pihak yang memesannya—jika ada. Hikmahnya adalah saya mandi keramas, rambut jadi bersih. Jumat Keramas! (Bersambung)

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 1)


Jumat, 10 Januari 2014

Kamar agak luas. Lumayan untuk ukuran kamar tahanan dibanding yang saya bayangkan, seperti kamar waktu dulu indekos di Surabaya atau Jakarta. Tempat tidurnya kecil, cukup untuk satu orang. Ada kamar mandi dan toilet yang dibatasi tembok. Ada pula wastafel dan rak piring kecil. Pokoknya mirip kamar indekos mahasiswa.
Penjaganya adalah pensiunan tentara yang baru direkrut. Namanya Timur Pakpakhan, orang Siantar, yang sejak 1978 masuk Jakarta. Kami ngobrol santaingalor-ngidul, termasuk cerita-cerita di kalangan militer dan politik. Kesan saya, dia orangnya enak.
Ketika masuk, saya langsung disambut beberapa penghuni yang sudah lebih awal bermukim di sini. Sebut saja Rudi Rubiandini. Malah, saya dapat pinjaman sarung, sajadah, dan handuk, sambil menunggu kiriman dari rumah. Ada pula Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Budi Santoso, yang memperkenalkan diri sebagai teman Djoko Susilo. Mereka kompak bilang selamat datang.
"Sabar saja, Mas," begitu pesan dan nasihat mereka.
Tentu, saya sudah membayangkan akan ditahan ketika berangkat dari rumah. Alhamdulillah, ketika pamit kepada Tia, saya sudah dibekali dengan kalimat dukungan ikhlas, ridho, dan doa agar kuat. Memperjuangkan keyakinan tidak bersalah di medan yang berat adalah tantangan tersendiri. Apalagi di KPK, lembaga yang dianggap selalu benar dan hampir tanpa kritik, karena kritik kepada KPK dianggap sebagai pro-koruptor. KPK memegang kekuasaan yang nyaris absolut. Modal ridho dan doa dari istri buat saya adalah energi tersendiri yang spesial nilainya.
Seperti yang saya sampaikan ketika ke luar pintu KPK dengan baju kebesaran tahanan, yang tanda tangan surat perintah penahanan adalah Abraham Samad, Ketua KPK yang gagah perkasa karena sering mengatakan hanya takut kepada Tuhan. Abraham adalah calon komisioner KPK yang menjelang fit & proper test di DPR datang ke Durensawit, tengah malam, untuk meminta dukungan. Abraham datang diantar Salahuddin Alam, teman saya di Partai Demokrat asal Sulawesi.
Malam itu, tanpa saya minta, Abraham menyampaikan komitmen untuk saling dukung dan saling menjaga sebagai sesama anak muda. Ternyata, di dalam proses saya menjadi tersangka terdapat peran serius Abraham, yang bahkan menyampaikan harus pakai cara kekerasan. Istilah yang dipakai adalah "pakai kekerasan dikit". Tentu saja dalam kalimat itu terkandung makna memaksa atau pemaksaan atau keharusan. Entah maksudnya memaksa dari segi waktu atau dari segi substansi perkara yang disangkakan.
Surat perintah penahanan disampaikan dan diberikan oleh penyidik yang memeriksa. Rupanya sprindik ada dua, yaitu No 14 dan No 14 A tanggal 22 Februari dan 15 Maret 2013 . Ketua tim adalah Bambang Sukoco dan di dalam tim itu ada penyidik senior dari Polri, Endang Tarsa. Di dalam sprindik No 14-A itulah Nama Endang Tarsa tercantum. Jadi, jumlah penyidik cukup banyak. Kalau tidak salah sepuluh orang, yakni empat penyidik pada sprindik No 14 dan enam orang pada sprindik No 14-A. Kedua sprindik itu di teken oleh Bambang Widjojanto.
Dijelaskan oleh Endang Tarsa bahwa sprindik No 14-A terbit untuk membantu tim penyidik dalam perkara sprindik No 14. Membantu tentu maknanya memperkuat karena tim sebelumnya dirasa belum cukup. Istilah Endang: "Saya hanya membantu Pak Bambang Sukoco."
Saya lirik, Bambang hanya tersenyum mendengar keterangan Endang.
Dalam tim penyidik pertama berdasarkan sprindik No 14 ada nama Bakti Suhendrawan, yang kabarnya adalah teman Agus Harimurti Yudhoyono di  SMA Taruna Nusantara, Magelang. Fakta itu dibilang menarik bisa, dibilang biasa-biasa saja dan kebetulan juga bisa.
Pada kesempatan awal, saya bertanya tentang frasa "dan atau proyek-proyek lainnya" di dalam surat pemanggilan dan ternyata kata-kata itu berdasarkan pada sprindik yang diteken BW itu. Baik pada sprindik No 14 maupun pada sprindik No 14-A bunyi kalimatnya sama. Endang menjelaskana bahwa memang dasar surat panggilan berawal dari sprindik dan itulah simpulan gelar perkara. Hal itu tidak perlu dijelaskan di surat panggilan, cukup di jelaskan ketika pemeriksaan.
Ketika saya desak, apa itu maksudnya, dia menjawab, misalnya proyek pembangunan gedung Biofarma, pembangunan universitas-universitas, pembangunan gedung pajak—sesuatu yang saya tidak tahu maksudnya.
Saya menyampaikan usulan dan permintaan. Jika itu yang dimaksud, agar disiapkan surat pemanggilan baru yang secara jelas menyebutkan nama-nama proyek tesrebut. Tetap saja tidak bisa, katanya. Karena dasarnya dari sprindik dan saksi-saksi sudah dipanggil dengan bunyi kalimat tersebut.
Kemudian penyidik lain, Salmah, membawakan contoh surat kepada saksi. Intinya, pokoknya tidak bisa, karena sudah sesuai prosedur dan sprindik. Meskipun berkali-kali saya katakan itu sebagai terobosan dan tidak melanggar aturan serta tidak bertentangan dengan sprindik, bahkan sebagai upaya kerja sama, tetap saja ditolak.
Endang tarsa adalah penyidik senior yang juga Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK. Tentu saja pengalamannya panjang dan dianggap bisa menangani kasus saya sesuai arah keputusan KPK. Saya tidak tahu apakah ada pejabat setingkat direktur penyidik yang "turun gunung" menjadi anggota dari anak buahnya sendiri. Tentu saja ini kehormatan, karena untuk kasus gratifikasi Harrier dan atau yang lain-lain diturunkan penyidik senior kelas tinggi.
Tetapi, yang tidak saya sangka-sangka, Endang sempat bertanya tentang PPI. "Sudah ada di mana saja?" begitu dia bertanya sambil bilang bahwa hal itu untuk pengetahuan saja.
Tentu pertanyaan menarik itu saya jawab juga. Karena, tidak ada yang rahasia dan perlu disembunyikan tentang PPI.
Ketika saya tanya tentang identitas Bambang Sukoco, dia menyebut sebagai alumni Yosodipuro. Tentu saya mengerti yang dimaksud, yakni markas HMI Cabang Solo. Dia bilang pernah menjadi bendahara pada zaman Adib Zuhairi menjadi Ketua Umum HMI CabangSsolo. Bambang mengaku kenal Johny Nur Ashari, Kholiq Muhammad, Yulianto, Dwiki Setiawan, serta beberapa teman saya dari HMI Solo.
Ada kesan, Bambang agak segan. Bahasa tubuhnya kurang nyaman dan sering menunduk.
Saya bilang kepada Bambang, tidak perlu memanggil “Pak”, panggil saja “Mas”. Dia bilang, " Iya, Pak. Iya, Mas." Kadang panggil “Mas”, kadang panggil “Pak”. Terasa benar agak kikuk, meskipun saya berusaha mencairkan suasana agar santai. Kalau benar dia alumni HMI Solo seangkatan Adib Zuhairi, pasti dia agak tahu tentang saya   zaman itu. Tetapi, saya menghormati posisi dan tugasnya sebagai ketua tim penyidik kasus saya. Sebagai penyidik yang berawal dari kepolisian dan sekarang sudah menjadi pegawai tetap KPK, Bambang tengah menjalani tugas dari pimpinan.
Ketika saya tanyakan, "Kok bisa saya jadi tersangka gratifikasi Harrier?” Dia hanya tertawa.
"Kok aneh, saya bisa jadi TSK di KPK untuk kasus gratifikasi Harrier?” Dia tertawa lagi.
Buat saya, tawa bambang punya makna besar dan saya yakin hatinya bergejolak.
Yang jelas, hari ini, Jumat, 10 Januari 2014, saya ditahan di lantai bawah KPK. Pasti ada yang senang dan bahagia dengan penahanan ini. Ada pula yang bersedih. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Itulah dua sisi kehidupan yang tak terpisahkan. Saya harus memandangnya biasa saja, karena pasti tidak ada yang kekal. Semua akan berganti. Semua akan berlalu. (Bersambung)

Rabu, 25 Desember 2013

Siapa Sebenarnya Jokowi Itu


Minggu pagi awal Desember itu sebenarnya tidak ada niat dan keinginan saya untuk bicara atau memikirkan politik. Seusai berolah raga memukul si bola putih kecil di lapangan golf Kemayoran, saya berencana menghadiri acara perkawinan putra seorang teman dan menikmati liburan menonton film di Studio 21 bersama keluarga.

Namun memang sudah merupakan ‘kutukan’ kayaknya, usai selasaikan 9 hole dan baru saja duduk dan pesanan makan di club house, eh datang menghampiri seorang teman lama dari Surabaya. Ternyata beliau sedang berada di Jakarta bersama teman – temannya yang semuanya dosen dari Universitas Gajahmada Yogyakarta. Sahabat lama itu memperkenalkan ketiga temannya yang sudah semuanya berusia sekitar lima puluhan tahun. Kami pun larut dalam perbincangan.

Ketiga staf pengajar Fisipol UGM Yogayakarta itu tanpa diduga tiba – tiba bicara tentang Joko Widodo. Ya Joko Widodo atau lebih kita kenal dengan nama Jokowi. Yang sangat menarik dari pembicaraan kami itu adalah mengenai peran ketiga dosen UGM tersebut dalam ‘menciptakan’ sosok Jokowi sehingga menjadi ‘orang atau tokoh’ seperti yang kita ketahui selama setahun terakhir ini. Jokowi dapat dikatakan sebagai hasil ciptaan ketiga dosen UGM ini. Mereka adalah dosen, ahli komunikasi massa dan ahli politik dari UGM Yogyakarta yang menjadikan Jokowi sebagai ‘eksprimen’ atau ‘kelinci percobaan’ dalam rangka menguji efektifitas sebuah pencitraan yang dilakukan secara sistematis dan akademis. Meski demikian mereka mengungkapkan kekecewaan yang mendalam terhadap Jokowi yang mereka nilai lupa diri dan tidak memiliki hubungan manusiawi yang baik. Mereka juga menuduh Jokowi sebagai orang yang tidak tahu membalas budi dan mudah melupakan jasa orang lain. Ketiga dosen tersebut mengatakan bahwa selama Jokowi menjadi gubernur Jakarta, tidak sekali pun mau menerima telpon dari mereka, apalagi mengharapkan Jokowi sudi menghubungi mereka. Sifat jokowi yang lupa diri, lupa balas jasa dan tidak menjaga pertemanan itu sudah nenjadi rahasia umum di kalangan sahabat – sahabat atau kolega – kolega Jokowi di Solo dan Jawa Tengah.

” Sejak Jokowi jadi Gubernur Jakarta perangainya memang jauh berubah. Kita kenal betul karakter Jokowi, namun dulu tidak separah ini” ujar salah seorang dari mereka. Mendengar ekspresi kekecewaan orang – orang yang telah membesarkan Jokowi itu, saya hanya bisa tersenyum kecut. “Mereka tidak tahu, jangan hanya dosen dari UGM, Prabowo dan Jusuf Kalla yang sangat berjasa membantu mengangkat Jokowi dari hanya tokoh kota kecil menjadi Gubernur DKI Jakarta saja, dia tega khianati karena mendapatkan tuan – tuan baru yang merupakan konglomerat tionghoa termuka di Indonesia”, batin saya.

Banyak orang yang tidak mengenal Jokowi yang sebenarnya. Apalagi mengenai karakter aslinya yang jauh dari sosok jokowi sebagaimana dicitrakan media – media milik para konglomerat atau media bayaran mereka. Jokowi sebagai manusia, tidaklah sebaik dan sejujur yang ditulis dan diberitakan mayoritas media massa nasional. Banyak catatan buruk tentang Jokowi, terutama jika dikaitkan dengan track record korupsinya dan kebohongan – kebohongan yang dilakukannya. Kehebatan Jokowi hanyalah pada kemampuan aktingnya untuk tampil alamiah ketika berada di tengah – tengah warga. Jokowi juga sangat mudah menjanjikan apa saja tanpa merasa berdosa atau terbebani bilamana janji – janji itu sebagaian besar tidak mampu dia penuhi. Bagi Jokowi, berjanji itu semudah menghirup nafas. Dia tidak peduli dengan harapan warga yang membumbung tinggi lalu jatuh terhempas ke bumi ketika janji itu dia ingkari.

Bagi kalangan menengah, menilai seorang Jokowi itu sangat mudah. Kinerja Jokowi sebagai Walikota Solo terbukti hanya di bawah rata – rata. Fakta tentang prestasi buruk Jokowi selama jadi walikota itu mudah diakses di situs Badan Pusat Statistik atau Kementerian Dalam Negeri. Disana tidak ada sedikitpun terlihat keistimewaan atau hal yang menonjol dari seorang Jokowi. Setahun jadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi terbukti gagal menjalankan program pemerintah daerah. Penyerapan APBD DKI tahun 2013 sangat rendah yakni hanya 22% saja per akhir Oktober 2013. Jika nanti pada akhirnya APBD bisa diserap di atas 80% sudah dapat dipastikan sebagian besar uang rakyat itu dikorupsi atau dijadikan bancaan melalui proyek – proyek fiktif. Dugaan korupsi Gubernur Jokowi di DKI Jakarta sudah banyak mencuat ke publik, diantaranya adalah korupsi puluhan miliar di pengadaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) pada akhir 2012 lalu dan sekitar 17 miliar rupiah saat penunjukan langsung PT Askes sebagai mitra program KJS. Belum lagi dugaan korupsi Jokowi pada proyek sumur resapan yang dimark up hingga ratusan persen.

Di Solo Jokowi memiliki banyak catatan hitam berupa dugaan korupsi yang sayangnya tidak pernah diusut serius oleh aparat hukum. Jokowi terbukti melalukan penyimpangan penggunaan anggaran KONI Solo yang dialihkannya sebagian untuk klub sepak bola Persis Solo dan sebagian lagi diduga untuk dirinya sendiri tanpa ada persetujuaan DPRD Solo. Korupsi lain dilakukan Jokowi pada proyek rehabilitasi pasar, hibah dana pemda Jawa Tengah, pengadaan Videotron, dana bantuan siswa miskin, proyek rehabilitasi THR Sriwedari, pengadaan mobil dinas Esemka dan seterusnya.

Salah satu dugaan korupsi yang sangat patut diduga dilakukan Jokowi adalah pada pelepasan aset pemda Solo, Hotel Maliyawan.
Sejak kasus ini terungkap, predikat tokoh / pemimpin antikorupsi yang digembar gemborkan melekat pada diri Gubernur DKI Jakarta itu runtuh berantakan.

Investigasi teman – teman kami selama 11 hari di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu menemukan fakta – fakta yang kuat mengenai dugaan keterlibatan Joko Widodo dalam beberapa korupsi dan pelanggaran hukum di Solo. Berikut ini sekilas dugaan korupsi Jokowi terkait pelepasan aset pemda Solo yakni Hotel Maliyawan, Surakarta yang terjadi pada tahun 2011 – 2012 lalu.

Kronologis Pelepasan Aset Pemda Solo

Bermula dari rencana Pemda Jawa Tengah untuk membeli bangunan hotel atau Balai Peristirahatan Maliyawan yang terletak di Tawangmangu, Solo/ Surakarta. Bangunan hotel itu, meski tanahnya adalah milik Pemda Jawa Tengah, namun bangunan di atas tanah tersebut adalah aset milik Pemda Solo / Surakarta karena dibangun dengan biaya /anggaran APBD Solo ( Surakarta) sekitar 12 tahun lalu. Namun, rencana Pemda Jateng membeli bangunan hotel aset Pemda Surakarta itu kandas karena Walikota Surakarta, Joko Widodo tidak pernah menyetujui. Jokowi selalu menolak permohonan Pemda Jateng itu meski tidak jelas apa alasannya. Padahal sebagai unit usaha yang dikelola BUMD PT Citra Mandiri Jateng, Hotel Maliyawan itu tidak menguntungkan dan gagal beri deviden kepada Pemda Solo (Surakarta) dan Pemda Jateng.

Karena permintaan membeli bangunan hotel selalu ditolak Walikota Jokowi, Pemda Jateng balik berencana ingin menjual aset Pemda Jawa Tengah berupa tanah yang di atasnya berdiri bangunan yang dipergunakan sebagai Hotel Maliyawan yang dikelola oleh BUMD PT. Citra Mandiri Jawa Tengah (CMJT) itu. Rencana Pemda Jateng menjual tanah hotel tersebut melalui BUMN CMJT secara langsung, terbuka dan lelang tentu tidak mudah karena bangunan hotel yang berada di atas tanah itu adalah milik atau aset Pemda Surakarta. Pilihan terbaik adalah dengan menawarkan rencana penjualan / pelepasan tanah aset Pemda Jateng itu kepada Pemda Surakarta. Nanti, setelah Pemda Surakarta membeli tanah aset Pemda Jateng tersebut, terserah kepada Pemda Surakarta, apakah akan menjual kembali tanah berikut bangunan hotelnya atau mau mengelola sendiri operasional Hotel Maliyawan itu.

Terhadap tawaran Pemda Jateng yang ingin jual tanah asetnya itu, Walikota Surakarta langsung menyatakan minatnya dan segera mengajukan rencana anggaran pembelian tanah Hotel Maliyawan sebesar Rp. 4 miliar kepada DPRD Surakarta yang kemudian disetujui oleh DPRD dengan rencana memasukan anggaran pembelian tanah aset Pemda Jateng dalam Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Surakarta tahun 2010.

Melalui Nota Jawaban Walikota yang dibacakan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Solo, Budi Suharto, Senin, Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), menjelaskan Pemkot Solo telah menindaklanjuti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Tahun 2010 dengan menganggarkan pembelian tanah Hotel Maliyawan senilai Rp 4. miliar.

Namun, berdasarkan Nota Kesepakatan Pemkot Surakarta dengan DPRD Kota Suarakarta No 910/3.314 dan No 910/1/617 tentang Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) Kota Solo Tahun 2010, anggaran untuk pengadaan tanah Hotel Maliyawan ternyata tidak muncul sama sekali. Kemudian diketahui bahwa Walikota Solo (Surakarta) mengajukan surat kepada Inspektorat Kota Surakarta yang berisi perintah Walikota untuk menelaah/mengkaji aspek hukum dan perundang-undangan terkait rencana Pemda Surakarta melepas aset berupa bangunan yang terletak di atas tanah Hotel Maliyawan, Tawangmangu, Surakarta.

Pihak Inspektorat Kota menberikan jawaban atas telaah dan kajian hukumnya kepada Walikota Joko Widodo. Dalam surat dari Inspektorat tersebut, ditegaskan bahwa untuk pemindahtanganan aset bangunan milik Pemda (Hotel Maliyawan) diperlukan penaksiran oleh tim dan hasilnya ditetapkan dengan keputusan Walikota. Selanjutnya Pemkot harus memohon izin penghapusan aset dari DPRD Kota Solo. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan PP No 6/2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pasal 37 serta Perda No 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Berdasarkan telaah dan kajian Inspektorat, Walikota Joko Widodo mengirim surat kepada Ketua DPRD Kota Solo (Surakarta) tertanggal 29 Juli 2011 perihal permohonan persetujuan pemindahtanganan atas nama Balai Istirahat (BI) Maliyawan. Pada paragraf kedua surat tersebut, Jokowi menyebutkan bahwa sesuai dengan pasal 64 ayat 1 Perda 8/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pemindahtanganan atas bangunan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPRD.

Masih mengacu kepada surat dari Walikota Joko Widodo itu, disebut lagi bahwa sehubungan dengan Perda tersebut maka diajukan permohonan persetujuan DPRD dan selanjutnya dapat dibahas dalam rapat Dewan. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari surat Inspektorat Kota pada 16 Desember 2010 tentang telaah staf pelepasan Hotel Maliyawan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat jelas bahwa pada awalnya, Walikota Solo Joko Widodo masih menjalankan mekanisme dan prosedur pelepasan aset secara benar dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, setelah Walikota Joko Widodo ketahuan sudah menjual aset Pemda Solo/Surakarta secara diam – diam kepada Lukminto, Direktur PT. Sritex, sikap, perilaku dan pernyataan – pernyataan Joko Widodo berubah 180 derajat alias menjadi seorang pembohong. Ada apakah dengan Joko Widodo terkait pelepasan aset Pemda Solo berupa bangunan hotel Maliyawan itu ?

Jokowi Mendadak Berubah 180 Derajat dan Berbohong

Kenapa terjadi perubahaan sikap, perilaku dan pernyataan Joko Widodo terkait penjualan aset Pemda Solo secara diam-diam kepada Lukminto ? Kenapa tiba-tiba Joko Widodo selalu ngotot pertahankan pernyataan dan pendapatnya bahwa penjualan bangunan hotel aset Pemda itu TIDAK memerlukan persetujuan DPRD Solo dan TIDAK perlu mengacu serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku ? Berkali – kali Joko Widodo mengatakan kepada publik bahwa sebagai walikota, pihaknya tidak perlu minta izin persetujuan kepada DPRD. Tidak perlu dengan penerbitan Peraturan Daerah / Perda terlebih dahulu jika pemda ingin menjual asetnya. Bahkan Jokowi mengatakan pelepasan aset pemda secara tanpa minta persetujuan DPRD terlebih dahulu itu, sudah sangat sering dia lakukan. Semuanya aman – aman saja, dalih Jokowi pada sekitar Juli 2012 lalu.

Mencermati perubahan sikap Joko Widodo dan kengototannya menabrak hukum itu, anak siswa SMA atau mahasiswa semester I pun mengerti dan paham bahwa pasti ada kolusi antara Jokowi dan Lukminto yang sangat patut diduga menghasilkan suap untuk Joko Widodo. Berapa besar dugaan suap dari Lukminto kepada Joko Widodo sehingga Joko berani melanggar hukum, UU dan menipu DPRD dan rakyat Solo serta seluruh rakyat Indonesia itu ? Berapa besar kerugian negara akibat KKN Jokowi – Lukminto itu ? Silahkan KPK, Kejaksaan dan Polri mengusut tuntas agar hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat terwujud. Sikap kita yang toleran/pembiaran terhadap perbuatan kriminal, kejahatan atau korupsi Jokowi ini, sesungguhnya sama saja dengan kita menyetujui perbuatan haram tersebut. Sekian.

Megawati Ditekan Konspirasi Kader & Konglomerat Hitam

Melalui rekayasa pencitraan secara sistematis, masif, kontiniu, didukung dana yang begitu besar, jaringan China internasional, Arkansas Connection dengan James Riady, Stan Greenberg, Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono, Popo dan Edi Sariadmadja, Edward Suryajaya serta mayoritas konglomerat Tionghoa Indonesia, siapa pun sulit menyangkal begitu pesatnya peningkatan popularitas Jokowi Widodo atau yang lebih kita kenal dengan sebutan nama Jokowi. Setelah sukses memenangkan Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada Agustus 2012, popularitas Jokowi terus dipertahankan bahkan digenjot secara maksimal oleh tim suksesnya hingga mungkin sampai hari H pemilihan presiden 2014 mendatang.

Penciptaan popularitas Jokowi sampai pilpres 2014 tentu tergantung pada keputusan PDIP (baca : Megawati Soekarnoputri) mengenai penetapan calon presiden yang akan diusung oleh PDIP. Rakernas PDIP yang baru saja selesai kemarin ternyata sama sekali tidak menetapkan nama – nama nominasi calon presiden yang bakal dijagokan PDIP pada pilpres 2014. Keputusan Rakernas PDIP yang tidak mencantumkan nominasi capres apalagi nama Jokowi sebagai bakal capres dari PDIP menimbulkan banyak pertanyaan bagi pemerhati politik tanah air.

Bukankah ‘begitu banyak dan heboh’ dukungan berbagai pihak yang mendesak agar Rakernas PDIP segera dan tanpa ragu menetapkan Jokowi sebagai capres ? Apa yang sesungguhnya terjadi ? Apakah PDIP atau Megawati selaku Ketua Umum PDIP dan pemegang hak prerogatif di PDIP masih belum percaya kehebatan Jokowi ? Apakah Megawati masih ragu dengan loyalitas Jokowi selaku kader PDIP ? Atau apa yang sesungguhnya terjadi di PDIP terkait rencana pencapresan Jokowi ?

Secara ringkas, kita dapat menganalisa dan simpulkan makna keengganan PDIP menetapkan Jokowi sebagai capres PDIP. Ketum PDIP Megawati SP yang juga mantan Presiden RI itu bukanlan politisi kemaren sore. Bukan tokoh sembarangan dan pasti memiliki pertimbangan yang matang dan komprehensif untuk mengambil sebuah keputusan apalagi keputusan sepenting dan sestrategis penetapan capres yang bakal diusung PDIP pada pilpres 2014 mendatang. Desakan, tekanan, lobi, bujukan, iming – iming bahkan aksi – aksi demo berusaha meyakinkan Megawati SP untuk segera menetapkan Jokowi sebagai capres PDIP.

Ada beberapa dasar pertimbangan kuat Megawati untuk tidak buru – buru menetapkan Jokowi sebagai capres usungan PDIP, antara lain :

1. Megawati dan PDIP pernah meminta komitmen Jokowi untuk berjanji menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai periodenya selesai atau selama 5 tahun penuh. Dan Jokowi sudah menyatakan kesanggupannya dan berjanji penuhi permintaan /komitment tersebut.

2. Megawati dan PDIP sudah mengetahui persis siapa tokoh – tokoh dan kelompok yang berada di balik rekayasa opini dan pemaksaan Jokowi sebagai capres 2014. Mereka inilah orang – orang atau kelompok yang pernah disebut Megawati dalam berbagai kesempatan sebagai ‘penumpang gelap’ yang menelikung dan mengambil keuntungan terbesar pada kemenangan Jokowi – Ahok di Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Megawati tidak mungkin mau diperdaya oleh para penumpang gelap ini atau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

3. Megawati secara pribadi sebenarnya sudah sejak awal mengetahui karakter asli Jokowi yang cenderung ‘khianat dan bermasalah’. Penetapan Jokowi sebagai cagub DKI Jakarta pada detik – detik terakhir oleh Megawati tahun lalu lebih disebabkan kuatnya desakan dan bujukan Jusuf Kalla, Prabowo dan Djan Faridz yang sangat intensif.

4. Megawati juga sudah banyak menerima masukan dari berbagai pihak mengenai perilaku Jokowi dan kelompok – kelompok yang ingin menjadikan Jokowi sebagai presiden RI boneka untuk mengamankan dan memperjuangkan kepentingan mereka di Indonesia, yang mana kepentingan mereka itu sudah dapat dipastikan sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.

5. Karakter asli Jokowi yang dinilai suka umbar janji dan lupa budi atau kebaikan orang lain sudah menjadi catatan khusus Megawati dan PDIP. Jika Jusuf Kalla dan Prabowo saja dengan mudah dikhianati oleh Jokowi, padahal jasa mereka luar biasa besar terhadap Jokowi, apalagi terhadap Megawati. Bukan tidak mungkin jika Jokowi terpilih jadi presiden RI, Megawati juga akan dikhianatinya dan hegemoni dinasti Sukarno di PDIP akan musnah disikat Jokowi dan kelompok – kelompok orang yang berada dibelakang Jokowi yang dalam beberapa bulan terakhir ini semakin kuat mengendalikan Jokowi.

6. Jokowi belum cukup setahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tentu sangat tidak etis dan riskan bagi PDIP untuk mencapreskan Jokowi sementara penilaian prestasi dan kinerjanya belum ada, karena itu pencapresan Jokowi oleh PDIP bisa menyebabkan bumerang dan membawa kehancuran bagi PDIP sampai ke akar rumput atau wong cilik yang selama ini dengan setia mendukung penuh Megawati dan PDIP.

7. Pencapresan Jokowi secara prematur bahkan dapat menghancurkan Megawati sebagai ikon PDIP karena para penyandang modal, tim sukses dan konsultan politik serta media – media yang dimiliki dan dibayar penumpang gelap tersebut dapat melakukan promosi besar – besaran dengan segala cara yang akibatnya dapat malah menghancurkan fanatisme loyalis PDIP terhadap Megawati dan Sukarno lalu beralih ke Jokowi. Jika itu terjadi maka kiamatlah bagi Megawati dan klan Sukarno di PDIP.

Desakan dan tekanan kuat kini dilakukan oleh para pendukung atau kubu Jokowi seperti Maruarar Sirait cs melalui opini media, manuver – manuver licin, konspirasi elit PDIP siap mengelung Megawati hingga tersudutkan hingga akhirnya menyerah dan bersedia menyetujui PDIP sebagai partai pengusung Jokowi, yang sudah terbukti hanya akan dijadikan presiden boneka oleh kelompok tertentu, sebagai calon presiden RI 2014 mendatang. Apakah Megawati akan menyerah ?

Menurut saya tidak. Megawati bukan tokoh kemaren sore, bukan tokoh karbitan, tidak mudah hancur menghadapi serangan, ancaman apalagi hanya sekedar opini rekayasa buatan badut – badut politik yang syahwat berkuasa sudah di ubun – ubun kepala. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi Megawati untuk menganalisa, menilai dan menginventarisir kader – kader PDIP yang sejati adalah pengkhianat dan loyalis musuh negara. Selanjutnya hasil evaluasi Megawati tersebut dapat digunakannya untuk melakukan pembersihan total PDIP dari kader – kader oportunis pragmatis materialis yang menjadi benalu dan parasit di tubuh partai.

Megawati ‘The Rock’ Soekarnoputri kini sudah semakin matang. Pasti mampu berfikir jauh ke depan dan memutuskan yang terbaik untuk kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara tercinta serta demi eksistensi dan kejayaan PDIP.

Kisah Perjuangan Jenderal Tua Melawan Mafia Hukum Depsos Mempertahankan Cawang Kencana


Menghabiskan hari tua bagi seorang Mayor Jenderal Purn. H. Moerwanto Soeprapto SH tidak seperti layaknya  para pensiunan mantan perwira tinggi lain yang dapat bermain dan bercanda riang dengan cucu dan cicit atau menunggu akhir hayatnya dengan tenang. Pasalnya, beberapa waktu lalu Moerwanto menerima surat pemberitahuan putusan Mahkahamah Agung RI No. 1504 K/Pidsus/2013 Jo. No. 10/PID/TKP/2013/PT.DKI Jo. No. 58/Pid.B/TKP/2012/PN.Jkt.Pst yang memutuskan Moerwanto divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, denda Rp. 500 juta serta uang pengganti Rp. 726 juta.

Mahkamah Agung (MA) RI menyatakan bahwa Moerwanto terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama – sama dan berlanjutan sebagaimana dakwaan subsidair.


Kasus yang menjerat mantan sekretaris jenderal Departemen Sosial (Sekjen Depsos) itu bermula dari somasi atau surat peringatan yang disampaikan oleh Ghazali Situmarang kepada Moerwanto pada 4 Januari 2010 lalu, dimana Moerwanto dituduh telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan korupsi terkait dengan aset berupa tanah seluas 7.902 meter persegi dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut yang selama ini dikelola oleh Yayasan Citra Handadari Utama (YCHU) yang diketuai oleh Moerwanto.

Bagaikan disambar petir di siang bolong ketika mantan prajurit TNI – AD berusia 70 tahun itu ketika menerima somasi dari Ghazali Situmorang yang tidak lain adalah sekjen Depsos yunior atau penerusnya. Betapa tidak, tuduhan itu selain merupakan fitnah terhadap dirinya, somasi itu juga tidak sesuai dengan pernyataan Menteri Sosial RI atasan Ghazali Situmorang sendiri

Menteri Sosial Salim Assegaf Al Jufrie dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa aset yang dikelola YCHU itu sama sekali bukan milik Departemen Sosial, melainkan milik yayasan.


yang tidak lain adalah sekjen Depsos pengganti dirinya. Somasi dari Ghazali Situmorang tersebut sangat aneh karena mengatasnamakan Menteri Sosial RI, sedang Menteri Sosial selaku pimpinan Ghazali Situmorang dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa aset tanah dan bangunan yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur itu sebagai milik yayasan dan bukan milik Departemen Sosial RI. Penegasan senada disanpaikan sejumlah mantan menteri sosial seperti Bachtiar Chamsyah, Justika S Baharsjah, Nani Soedarsono dan seterusnya.


Kepemilikan YHCU atas tanah dan bangunan yang dikenal masyarakat luas sebagai Cawang Kencana tersebut bermula dari pelaksanaan Keppres No. 32 tahun 1979 junto Permendagri No. 3 tahun 1979 yang menetapkan bahwa hak – hak atas tanah ex kolonial Belanda diberikan hak kepada mereka yang memerlukan tanah dengan mengutamakan bekan pemegang hak atas tanah tersebut.

Melalui SK Mensos No. 34/HUK/1986 hak penggunaan tanah Cawang Kencana telah diserahkan Mensos kepada Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS).

Pada tanggal 9 Maret 1987 Depsos untuk kepentingan YDBKS telah mengajukan permohonan hak atas tanah Cawang Kencana tersebut. Pada tanggal 12 Mei 1987 Mensos Nani Soedarsono mengirimkan surat No. K/B/-46/V-87/MS kepada Dirjen Agraria untuk mendapatkan hak pakai dan sertifikat tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS.

Kemudian terbitlah SK Mendagri No. 206/HP/D.A/88 tanggal 29 Juni 1988 tentang Pemberian Hak Pakai atas nama Departemen Sosial UNTUK Kepentingan YDBKS.

Menteri Sosial berikutnya, Haryati Soebadio telah mengirimkan surat No. B/F.08-XI-88/MS tanggal 19 Nopember 1988 kepada Dirjen Agraria yang meminta koreksi atas nama yang tercantum sebelumnya yakni Departemen Sosial agar diubah menjadi atas nama YDBKS.

Pada tahun 1992 di atas tanah Cawang Kencana tersebut didirikan bangunan berdasarkan IMB No. 9216/IMB/1992 yang biaya pembangunan gedung seluruhnya adalah uang milik yayasan (YDBKS). Tidak ada sepeser pun uang negara atau depsos.

Ketika YDBKS dibubarkan/likuidasi pada tanggal 29 September 1999, sesuai akte notaris Siti Pertiwi Henny Singgih No. 82 tahun 1999 tentang berita acara penyerahan dilakukan pengalihan kepemilikan tanah dan bangunan Cawang Kencana dari YDBKS kepada YHCU. Dan kemudian pengelolaan Gedung Cawang Kencana diserahkan YHCU kepada PT. Citra Satya Utama (CSU) melalui surat Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.

Menteri Sosial periode berikutnya, Justika S Baharsjah juga telah mengirimkan surat No. AC.58/LX-99/MS tanggal 17 September 19999 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) perihal permohonan penggantian nama pemegang hak pakai tanah Cawang Kencana menjadi atas nama YHCU.

BPN Jakarta Timur ternyata telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Tanah Cawang Kencana atas nama YDBKS pada tanggal 14 Oktober 1999. Meski demikian sesuai akte notaris tanggal 29 September 1999 tanah berikut bangunan di atasnya yang semula milik YDBKS dialihkan menjadi milik YHCU.

Fakta – fakta hukum tersebut di atas ternyata diabaikan begitu saja oleh Ghazali Situmorang yang diduga bertindak untuk dan atas nama kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dengan alasan bahwa uang yang digunakan YDBKS untuk membeli membangun gedung di atas tanah tersebut termasuk uang negara. Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang – undangan yang menyatakan bahwa uang Yayasan adalah merupakan uang negara. Apalagi uang YDBKS tersebut bukan berasal dari pemerintah atau negara melainkan dari usaha sendiri selaku penyelenggara undian sosial berhadiah pada masa itu.

Keganjilan berikutnya adalah mengenai langkah sekjen depsos melaporkan Moerwanto Soeprapto Ketua YHCU dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) mengindikasikan adanya kepentingan tersembunyi dari Ghazali Situmorang cs, yang mana kemudian terbukti dengan adanya :

1. Rekayasa penjebakan kepada YHCU yang dilakukan oleh oknum SK dan J dimana Moerwanto diminta uang ‘pengurusan’ oleh penasihat hukumnya sebesar Rp. 300 juta. Uang tersebut disebutkan sebagian untuk oknum jaksa penuntut umum (JPU) pada pengadilan Tipikor, dengan janji kepastian dapat memenangkan perkara tersebut. Permintaan JPU itu didasarkan atas keraguan JPU atas bukti – bukti yang dimiliki oleh pelapor (Ghazali Situmorang). Permintaan uang itu lalu dipenuhi oleh pengelola gedung Cawang Kencana PT. CSU.

Ternyata, pemberian uang sebesar Rp. 150 juta yang dimaksudkan sebagai uang ucapan terima kasih atas pengertian JPU yang bersedia objektif melihat kasus ini lemah dan hanya kriminalisasi terhadap Moerwanto, tiba – tiba menjadi bumerang. Oknum SK dan J yang sejak kasus ini bergulir sudah terlibat menawarkan bantuan kepada Moerwanto, kemudian terbukti sebagai musuh dalam selimut dan pengkhianat. SK dan J malah mengancam pihak JPU agar merekayasa bukti – bukti sedemikian rupa supaya Moerwanto dinyatakan bersalah.

2. Ternyata, Oknum SK dan J adalah pihak yang berkolusi dan diduga otak dari kriminalisasi Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto. Terdapat indikasi pasangan suami istri SK dan J serta para mafia di belakangnya telah mengatur hukum dan majelis hakim sedemikian rupa untuk memastikan Moerwanto divonis bersalah.

3. Diduga tekanan, ancaman dan mungkin uang suap jumlah besar dari oknum SK dan J cs kepada majelis hakim yang menyebabkan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung nekad mengabaikan semua fakta hukum, keterangan para saksi dan bukti – bukti yang mematahkan tuduhan korupsi terhadap Ketua YHCU Moerwanto Soeprapto.

4. Terdengar informasi bahwa ada pengusaha properti terkemuka, oknum pejabat tinggi negara dan kerabat Cikeas berada di balik kriminalisasi Moerwanto, jenderal tua yang dikenal sebagai pribadi jujur, berintegritas tinggi dan menghabiskan puluhan tahun umurnya untuk berbakti pada negara dan kegiatan sosial.

5. Terungkap banyak informasi tentang rencana besar nan kotor dari para mafia hukum otak kriminalisasi terhadap Moewanto, dimana nantinya tanah dan bangunan Cawang Kencana yang selama ini digunakan untuk kantor puluhan yayasan dan organisasi sosial, akan dihancurkan dan dibangun apartement mewah bernilai triliunan rupiah dengan modus KKN bersama oknum pejabat tinggi Kementerian Sosial. Lokasi Cawang Kencana sangat strategis sehingga sangat menggiurkan dan membuat para mafia hukum dengan entengnya merekayasa hukum dan mengkriminalisasi seorang anak bangsa mantan prajurit pejuang hingga jadi pesakitan, terpidana korupsi.

6. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) rencananya segera dilakukan oleh Moerwanto. Namun, belum lagi memori PK disusun, sudah terdengar SK dan J sudah ‘mengunci’ para anggota majelis hakim di MA. Belum diketahui berapa besar uang suap yang dijanjikan kepada para hakim agung durjana itu.

Ketika kami temui di salah satu ruang kantor Gedung Cawang Kencana, Moerwanto terlihat tegar menghadapi kezaliman ini. “Saya prajurit pejuang dik. Sudah biasa menghadapi bahaya kematian di medan perang. Jangankan dipenjara, mati pun saya ikhlas demi mempertahankan kebenaran. Saya tidak ada korupsi sepeser pun. Selama belasan tahun saya curahkan hidup saya mengelola yayasan sosial. Tidak ada keuntungan disini. Honor yang hanya sekitar Rp. 5 juta per bulan dari yayasan sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan operasional tugas saya selaku ketua Yayasan. Lihatlah kehidupaan keluarga saya, jauh dari mewah atau kaya raya”, ungkap Moerwanto kepada kami.

Jangan bayangkan Mayor Jenderal Purn. H. Moerwanto Soeprapto seperti jenderal – jenderal orde baru lain. Sosoknya sangat sederhana, alim dan taat beribadah. Beliau menjadi Mualaf ketika bertugas sebaga Komadan Kodim WatanSoppeng, Sulawesi Selatan puluhan tahun lalu. Di Wattansoppeng, beliau berkenalan dengan seorang guru agama terkemuka di Sulawesi Selatan, Almukarrom Daud Ismail, yang kemudian menjadi guru agama Moerwanto saat dia berserah diri masuk agama Islam.

Ketika ditanya mengenai sikapnya terhadap pengkhianatan yang dilakukan SK dan J, Moerwanto mengakui dirinya benar – benar ‘shock’ dan terpukul. ” SK itu sudah saya anggap sebagai adik sendiri. Apalagi SK itu juga mayor jenderal TNI – AD, sama seperti saya. Sedang istri Mayjen SK juga sama seperti saya, seorang mualaf. Jadi, saya benar – benar tidak mengerti kenapa dia tega menikam dari belakang untuk menguasai Cawang Kencana yang sudah puluhan tahun menjadi pusat kegiatan sosial dari puluhan yayasan yang berkantor di sini”, ujarnya lirih.

Namun tiba – tiba jenderal sepuh ini berkata dengan lantang. “Tolong diingat Dik, meski saya sudah dizalimi dengan vonis bersalah, jangan harapkan mereka bandit – bandit itu bisa mudah menguasai mencaplok Cawang Kencana. Ribuan laskar Panglima Besar Soedirman dan laskar – laskar pejuang lainnya akan mempertahankan Cawang Kencana ini sampai titik darah penghabisan. Saya bisa mati, tapi laskar – laskar binaan saya tidak. Mereka akan beri pelajaran pahit kepada para mafia itu !”, suara jenderal itu menggelegar, matanya melotot dan tangannya terkepal ketika ikrarkan janji itu kepada kami.

Bagaimana selanjutnya perjuangan seorang mantan prajurit pejuang yang curahkan hidup, waktu dan tenaganya untuk kepentingan negara dan rakyat, tapi malah berbalas penjara ini? Mari kita nantikan bersama, sembari mohon doa dari seluruh teman pembaca agar perjuangan beliau menegakan kebenaran dan keadilan di negeri ini dapat terwujud. Amiin Ya rabbalamiiin.

“Sesungguhnya nanti perjuangan kalian akan lebih berat karena kalian akan menghadapi musuh – musuh dari bangsa kalian sendiri” – Bung Karno.