Sabtu, 21 Desember 2013

Sosok Dahlan Iskan Si Penipu Besar dari Magetan Bag(1)

Gaya bicara seorang Dahlan Iskan ceplas ceplos, sering menceritakan kehidupan dan pengalaman masa lalu dan perilaku apa adanya memang sudah menjadi ciri khas seorang Dahlan Iskan yang kini dipercaya Presiden SBY sebagai Menteri BUMN. Karakter seperti Itu pula yang membuat pribadinya terkesan lugu, polos dan jujur sehingga banyak rakyat percaya terhadap kesan yang ditimbulkannya. Secara sekilas orang atau rakyat banyak hanya melihat dari jauh, mengetahui dari pemberitaan media atau menonton acara tentang diri dan kehidupannya yang memang penuh warna warni, perjuangan, kisah sukses sebagai pengusaha dan sebagai pejabat negara.

Budaya masyarakat Indonesia yang mudah percaya pada seseorang meski baru dikenal atau hanya mengetahui dari pemberitaan di media massa. Mayoritas rakyat bahkan malas mencari tahu referensi tentangnya, padahal niscaya mereka yang mau sedikit luangkan waktu untuk meneliti sosok Dahlan Iskan pasti semua hanya bisa terkesima, terbengong – bengong penuh rasa tidak percaya dan mungkin sekali muncul amarah luar biasa terhadap sosok pribadi Dahlan Iskan yang sebenarnya.m
Bertopeng Keluguan

Dengan menggunakan topeng keluguannya, Pak Bos, demikian Dahlan Iskan biasa disapa para anak buahnya di lingkungan Jawa Pos Grup, sangat mudah memperdaya siapa saja demi tujuan tersembunyi dibalik keluguan dan keramahannya. Sudah banyak bukti dan korban dari jurus ampuh ‘keluguan’ yang ditampilkan Pak Bos terutama kepada orang – orang tertentu yang menjadi target mangsa penipuannya.
Sesuai dengan falsafah hidup Dahlan Iskan yang selalu diutarakannya kepada orang – orang terdekatnya, “Pencitraan adalah segala – galanya. Jika citra diri kita sangat bagus di mata orang dan masyarakat luas, kita dapat melakukan apa saja. Semua pasti percaya bahwa apa yang kita lakukan adalah benar dan baik”. Itulah kunci rahasia ‘kesuksesan’ Dahlan Iskan yang sepanjang hayatnya selalu menipu orang lain dan merugikan negara.

Makna lugu sejatinya adalah tidak banyak tingkah dan bersahaja. Tidak Banyak Tingkah tercitra dari sikapnya yang mengagungkan ‘kerja…kerja…kerja…’. Bersahaja nampak dari kebiasaan berpakaian dan bersepatu khas terkesan mengabaikan aturan protokoler kenegaraan, bahkan kalau perlu meminjam pakaian sopirnya (anehnya tetap mengumumkan ke publik melalui media massa yang dikuasainya. Bersahaja kok senangnya sengaja mengumumkan dan mempertontonkan keluguan).
Begitu pula soal ‘apa adanya’. Tanpa tedeng aling-aling. Dahlan, bahkan terlampau sering mengucap dan begitu bangga menyebut kalimat ‘apa adanya’ untuk menggambarkan pola pikir yang berakhir pada setiap tindakannya. Namun, ‘apa adanya’ Dahlan sering tidak pada tempatnya. Lebih cenderung ke sikap grusa grusu. Mudah saja mencarikan contoh atas sikapnya yang mengagungkan ‘apa adanya’ dan ternyata justru tidak pada tempatnya.

Misalnya sikap grusa-grusu saat tak sabar hati dengan antrian kendaraan di pintu Tol Semanggi menuju Slipi, Selasa (20/3/12). Benarkah? Tidak. Faktanya, saat itu hanya ada antrian 30 kendaraan. Kondisi yang sangat sangat wajar dibanding jutaan kendaraan yang lalu lalang di jalanan Jakarta. Sikap itu justru jadi cermin bahwa Dahlan, jika berkuasa akan seenaknya sendiri dengan dalih sikap ‘apa adanya’. Padahal, jika dipikir dengan nalar normal, sekaya apapun orang itu, pasti berpikir keras sebelum membuka paksa pintu tol, membuang kursi dari ruang kerja petugas gerbang tol dan memerintahkan mobil-mobil itu menikmati jalan tol tanpa bayar. Sebab, ada ancaman hukuman yang menanti pelaku pembuka paksa pintu tol.
Namun, Dahlan bebas dan tidak tersentuh, karena posisinya sebagai Menteri BUMN, ‘pemilik’ pengelola jalan tol itu. Indikasinya gampang saja. Kalau memang Dahlan care, mengapa tindakan itu tidak dilakukannya saat menjabat sebagai Dirut PT PLN, atau ketika dia belum jadi pejabat. Dalam bahasa sederhana, kalau tindakan anarkis terhadap pintu tol itu dilakukannya, Dahlan juga bisa membayar kerugian dari uangnya yang tanpa seri.

Tapi itu lah Dahlan. Grusa grusu karena merasa ‘adi gang dan adi gung’ lebih tepat ketimbang perkara sikap ‘apa adanya’. Karena tidak mungkin ada yang berani menindaknya, maka Dahlan berbuat seenaknya. Ada idiom di kalangan orang dekat Dahlan soal kejujuran. Jika Anda bertanya pada 100 anak buah Dahlan soal kejujuran ‘Pak Bos’, maka akan ada 200 jawaban yang menyebut tidak.

Sejak menjadi orang kuat (Bos Jawa Pos Grup, Raja Media RI) Dahlan sudah dikenal tidak jujur. Ironisnya, ketidakjujuran itu begitu nampak tanpa perlu melakukan investigasi. Penyelewengan dana sumbangan pembaca untuk korban tsunami Maumere adalah contoh paling mudah. Jangankan menghukum dan menindak pelakunya, Dahlan bahkan nyaris tidak pernah bersedia membicarakan kasus penyelewengan amanah tersebut.

Sebut saja soal penjualan klub sepakbola Mitra Surabaya. Dengan status milik publik, karena menjual ribuan saham ke masyarakat, Dahlan dengan enteng, menjualnya saat tim itu sudah tidak memberinya peluang meraup keuntungan finansial dan sosial. Ironisnya, penjualannya tanpa proses administrasi layaknya sebuah institusi ‘go public’.

Yang terbaru adalah tulisannya soal Evan Dimas. Kapten tim nasional PSSI U-19 yang sukses menjuarai Piala AFF U-19, September lalu. Beberapa hari setelah sukses anak-anak muda itu, Dahlan dengan enteng meng-klaim bahwa Evan Dimas adalah hasil pembinaan sebuah tim yang dulu didirikannya (maksudnya tentu Mitra Surabaya itu).

adahal siapapun tahu, Mitra Surabaya itu sebuah tim hasil hibah dari A Wenas, pendiri sekaligus pemilik Niac Mitra, klub yang kemudian berubah menjadi Mitra Surabaya lalu terakhir berubah nama menjadi Mitra Kukar. Sedangkan Evan Dimas sendiri adalah mantan anak didik sekolah sepakbola Mitra Surabaya yang didirikan Ketua Harian KONI Jatim Dhimam Abror pada 7 Juni 1998. (Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar