SUATU waktu sekitar lima tahun lalu seorang teman berkebangsaan Perancis, Mr. Gerard pernah mengeluh kepada saya karena urusannya di sebuah instansi pemerintah tidak kunjung tuntas. Dia sudah bolak balik ke kementerian tersebut hanya untuk mengambil sehelai surat pernyataan dari kementerian itu yang menyatakan bahwa bantuan bencana alam yang disumbangkan Lions Club Perancis benar telah diterima dan disalurkan kepada yang berhak menerimanya.
Mr. Gerard menyampaikan keprihatinannya. Mungkin lebih tepat, kekesalannya. Kenapa untuk menerbitkan sebuah surat saja, begitu lama waktu yang dibutuhkan tanpa ada alasan yang jelas. Mr. Gerard yang rencana semula hanya bermaksud tinggal di Indonesia selama 1 - 2 bulan, terpaksa menghabiskan waktunya lebih dari enam bulan hanya gara-gara persoalan demi persoalan timbul terkait dengan bantuan kemanusiaan yang dikirimkan Lions Club melalui pemerintahnya ke Indonesia.
Masalah pertama timbul ketika barang - barang bantuan dari Perancis yang berupa puluhan mesin pompa air ukuran kecil, sedang dan besar itu tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mesin pompa air bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh korban bencana tsunami itu, ditahan oleh pihak Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tidak bisa dikeluarkan. Tidak boleh. Apa alasannya ? Menurut pejabat Bea Cukai harus ada surat izin dari berbagai instansi yang berwenang. Mr. Gerard pun segera hubungi kedutaan besar Perancis dan pontang panting mengurus segala tetek bengek surat yang dibutuhkan itu. Setelah hampir satu bulan mengurus surat - surat dengan datangi satu per satu instansi pemerintah, semua surat yang dipersyaratkan pun terbit. Mr. Gerard menarik nafas lega. Sudah terbayang wajah istrinya yang cantik itu menunggu kepulangannya ke Paris, Perancis.
Surat - surat selesai, puluhan mesin pompa air itu pun dikirimkan ke gudang yang telah ditunjuk pemerintah. Mr. Gerard hanya tinggal menunggu berita acara penyerahan (BAP) untuk barang bantuan bencana tersebut. Seminggu tidak ada kabar. Dua minggu juga belum ada kepastian. Sebulan berlalu, Mr. Gerard habis kesabaran. Dia datangi kantor kementerian tersebut menanyakan kapan BAP bantuan bencana bisa diterima. Tidak ada jawaban. Semua pejabat di kementerian itu angkat tangan geleng - geleng kepala, tidak tahu jawabnya. Mr. Gerard mulai frustasi, dia hubungi pejabat kedutaan Perancis, jawaban yang diterima malah bikin dia makin pusing. “Sudah biasa di Indonesia terjadi masalah seperti ini. Pemerintahan dan birokrasinya tidak efisen. Korup. Coba saja Anda tawarkan sejumlah uang kepada pejabat kementerian itu, mudah-mudahan ada solusinya” saran pejabat kedutaan. Kali ini Mr. Gerard yang geleng-geleng kepala dan tarik nafas dalam-dalam. “Semoga penyakit jantungku tidak kumat menghadapi neraka birokrasi Indonesia” batinnya.
Melalui temannya yang sudah lama tinggal di Jakarta, Mr. Gerard diperkenalkan sama saya. “Mohon bantuannya Pak” ujar teman Mr. Gerard yang berprofesi sebagai technical advisor di sebuah perusahaan multinasional. Saya pun dengan senang hati membantu Mr. Gerard yang malang ini. Bersama - sama kami mendatangi pejabat terkait di kementerian sumber masalah itu.
Dari mulut pejabat tinggi kementerian tersebutlah baru diketahui apa penyebab BAP bantuan bencana itu tidak dapat diterbitkan. Ternyata puluhan mesin pompa air yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Aceh di pedalaman pedesaan itu tidak pernah sampai di tempat. Mesin - mesin pompa senilai Rp. 17 milyar itu lenyap, hilang tak tahu kemana rimbanya. Dicolong setan - setan gentayangan berwujud manusia yang tega menilep mesin pompa untuk pengadaan air bersih rakyat Aceh korban tsunami.
Mendengar penjelasan itu, Mr. Gerard tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Matanya nanar, berair. Air matanya jatuh. Dia menangis. Benar, dia benar-benar menangis. ” Kenapa…kenapa ? Siapa yang luar biasa tega ? Mana pemerintah kalian ? Duh !” ujarnya setengah teriak sambil menahan tangis. Setelah suasana hatinya agak tenang, saya hampiri dia, ” Dengan kenyataan seperti ini, apa yang menjadi rencana Anda selanjutnya ?” Tanya saya. Mr. Gerard terdiam, dia belum mampu berfikir jernih dan mengucapkan kata-kata.
Setelah lama membisu, akhirnya Mr. Gerard berkata lirih, ” Saya harus lapor dulu ke Kantor Pusat Lions Club di Paris. Biar mereka yang memutuskan” ujarnya sambil memencet tombol handphone. Tak sampai semenit berselang, dia sudah terhubung dan bicara dengan rekannya di benua Eropa sana.
” Pihak Lions Club Perancis sangat menyesalkan kehilangan mesin - mesin pompa air yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Saya kena tegur kenapa sembrono dan tidak mengambil tindakan untuk memastikan bantuan itu sampai ke korban bencana” kata Mr. Gerard sambil memandang saya dengan tatapan mata hampa. Saya terdiam dengan kepala agak tertunduk. Tidak tahu mesti bagaimana meski hati saya bergejolak campur aduk marah dan malu. Tiba-tiba dia melanjutkan lagi ucapannya, ” Saya tidak berani pulang ke Paris jika urusan ini belum beres. Saya malu pada Ketua Lions Club Perancis yang adalah juga seorang jenderal, Kepala Staf Angkatan Darat Perancis. Saya gagal jalankan tugas yang dberikannya,” jelas Mr. Gerard kepada saya. Mendengar ucapan tersebut saya kian gundah. Malu tak tertahankan, amarah pun memuncak ke ubun-ubun. Saya hampiri pejabat tinggi kementerian yang masih menatap kami berdua tapi tidak punya inisiatif untuk carikan solusinya.
“Bagaimana saran Bapak ? Apakah ada cara terbaik dan tercepat untuk menyelesaikan masalah ini?” tanya saya. Dia menjawab sambil bergumam, nyaris tak terdengar. “Ya bagaimana maunya Pak ? Kami juga tidak berdaya karena untuk pengiriman barang-barang bantuan bencana ke Aceh, kami tidak punya kewenangan dan tanggungjawab. Ada instansi lain yang melakukannya. Kehilangan seperti ini, terlambat atau salah kirim bantuan pun kami tidak mengerti apa penyebab dan siapa pelakunya”.
Jawaban pejabat itu bikin perut saya mulas. Kelihatannya tidak ada harapan lagi paket mesin pompa bantuan Perancis itu bakal bisa ditemukan. Mungkin sudah berpindah tangan ke pemilik toko di kawasan Glodok, Jakarta. Sudah dijual oleh maling hina dina yang bikin malu bangsa Indonesia dan menambah susah rakyat korban bencana. Akhirnya, saya minta bantuan kepada pejabat tersebut untuk menerbitkan surat pernyataan hilang dari kementerian. Mr. Gerard dengan alasan yang kuat, mohon surat itu dapat ditandatangani langsung oleh Menteri. Si Pejabat itu kelihatan ragu, dia tidak yakin Menteri bersedia tanda tangan. Saya pun langsung telpon senior saya yang kebetulan tangan kanan Pak Menteri untuk minta kesediaaannya menandatangani surat dimaksud.
Dua hari kemudian, kami pun datang lagi ke sana. Surat pernyataan mengenai kehilangan barang bantuan dari Pak Menteri sudah ada, disertai dengan permohonan maaf resmi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dari Pemerintah Republik Indonesia. Hanya itulah yang dapat sedikit mengurangi kegalauan Mr. Gerard, teman saya utusan resmi pemerintah Perancis yang mengawal pengiriminan bantuan kemanusian untuk Indonesia.
“Sungguh menyedihkan sikap mental dan moral bangsaku, orang lain yang dengan tulus membantu kesulitannya pun masih dizalimi. Sungguh mengenaskan. Sampai kapan bangsa ini sadar ? Apakah menunggu teguran Tuhan Yang Maha Tahu ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar