Suatu ketika di Kerajaan Asoka seorang Kepala Rumah Tangga Istana bernama Najara dituduh telah mencuri sebuah permata pusaka kerajaan yang tidak ternilai harganya. Pihak Bhayangkara kerajaan sudah menangkap anak buah KRTI yang dituduh terlibat. Hanya menunggu waktu saja Bhayangkara akan menangkap Najara.
Mendengar berita itu Baginda Raja Asoka bernama Susrhayudha murka. Dia panggil Najara ke Istana berikut dengan Maha Patih dan para senopati. Di Istana, Najara diadili langsung oleh Sang Raja. “Najara, benar kamu yang mencuri permata pusaka kerajaan Asoka ? Jawab sejujurnya ! Tanya Raja Susrhayuda dengan suara menggelegar. Wajah Najara sempat pucat pasi sebentar, namun seketika dia bisa kumpulkan ketenangan dan nyalinya. “Benar Yang Mulia Baginda Raja. Hamba telah mencuri permata pusaka itu. Maafkan hamba Baginda Raja” jawab Najara sambil tetap menunduk takzim di hadapan Sang Raja. “Di mana permata itu kamu sembunyikan permata curian itu? Segera kembalikan dan kamu harus siap menerima hukuman. Kamu kan sudah tahu kebijakanku sebagai Raja Asoka. Aku sudah bersumpah dihadapan seluruh rakyat Asoka bahwa siapa saja yang terlibat kejahatan apalagi mencuri harus dihukum mati. Tanpa kecuali. Hukum harus ditegakkan meski langit runtuh !” Suara Sang Raja mengema ke seluruh ruang istana.
Najara Kepala Rumah Tangga Istana Asoka itu menjawab lirih :” Permata itu sudah hamba jual ke negara tetangga Baginda Raja Yang Mulia. Uangnya sudah Hamba habiskan untuk biaya pernikahan Hamba dan membelikan berbagai hadiah untuk istri muda hamba”, ujar Najara. Sang Raja pun kian murka : ” Kalau begitu kamu memang harus mati. Dihukum mati dengan memisahkan kepala dengan lehermu” .
Ruangan istana pun menjadi hening. Semua yang hadir Tiba - tiba dia mengangkat kepala dan matanya mencuri pandang ke Sang Raja. “Sebenarnya masih banyak tersisa Yang Mulia, sebagian untuk membiayai pesta kerajaan tahun lalu dan sebagian lagi habis hamba serahkan kepada Ibu Permaisuri dan Putra Mahkota” ujar Najara lirih sambil tersenyum kecut. Semua yang hadir kaget bak ada geledek disiang hari. Semua mata menatap Sang Baginda Raja yang juga kaget bukang kepalang. Wajah Sang Raja yang memutih pasi seketika berubah merah padam. Saking merahnya, terlihat hitam kusam.
“Gdebraaak !!” Meja di depan Sang Baginda dipukul keras. Penguasa Asoka itu benar - benar marah kali ini. Marah besar bercampur rasa tak percaya. Matanya melotot seperti mau meloncat keluar dari sarangnya. “Kamuuu fitnah !! Kurang ajarrr !! Berani - beraninya kamu hambah hina dina menuduh Ibu Permaisuri dan Pangeran Puta Mahkota ??! Teriak Sang Raja menggelar memenuhi ruang Istana itu. Batin Sang Raja bergejolak. Dia tidak mau terima tuduhan Najara meski hati kecilnya percaya. Raja yang sudah berusia jelang 70 tahun itu tak kuasa lagi berkata - kata. Lidahnya kelu terkunci, giginya bergemeratak. Mulutnya terkatup rapat. Raja seketika langsung balik kanan, tergopoh - gopoh masuk kamarnya dan ….tak pernah kembali ke ruang istana dimana para punggawa tetap setia menunggu kehadirannya. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar