Melalui seorang teman lama, saya dan teman - teman dipertemukan dengan para aktivis perminyakan dan gas (migas) seminggu lalu. Pada awalnya pertemuan yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta Selatan itu, saya fikir untuk membahas dan menyusun strategi penolakan terhadap rencana pemerintah RI yang akan meneruskan kontrak pengelolaan Blok Mahakam kepada Total E & P (Perancis) dan Inpex Coorporation (Jepang). Ternyata dugaan saya keliru.
“Blok Mahakam nanti saja Bang”, ujar teman saya aktivis migas alumnus ITB yang pernah bekerja di VICO (Virginia Indonesia Company) salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia. “Blok Mahakam masih lama, 2017 baru berakhir. Pemerintah rencananya baru akan putuskan setelah pemilu 2014 nanti. Kita bahas Blok Siak dan Blok Kampar saja. Blok Siak akan berakhir pada Nopember 2013 atau dua bulan lagi. Kontraktor Blok Siak yang sekarang mengelola blok ini disebut - sebut sudah memberikan uang suap USD. 20 juta (Rp. 200 milyar) kepada salah satu pasangan cagub dan cawagub yang diprediksi akan keluar sebagai pemenang Pilkada Gubernur Riau, 4 September 2013 ini. Urgent banget Bang !”, jelas teman saya itu berapi - api.
Lalu kami segera tenggelam dalam diskusi intens membahas rencana kami mendesak pemerintah Indonesia untuk memutuskan pengelolaan Blok Siak, Riau ini kepada Pertamina, BUMN migas kita. Pengalaman mengajarkan kita, bahwa pemerintah Indonesia terlalu mudah memperpanjang kontrak migas kepada kontraktor asing. Pertamina selalu dianaktirikan, kepentingan bangsa dan negara diabaikan.
Khusus untuk pengeloaan Blok Siak yang beberapa hari lagi akan berakhir kontraknya antara pemerintah Indonesia dengan PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) setelah berjalan 21 tahun sejak 1991. Sekitar 2 bulan lalu, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas bumi (SKK Migas) menyatakan CPI berpeluang besar kembali mengelola Blok Siak, Riau tersebut. Rencana SKK Migas itu langsung ditentang keras oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan yang menyebutnya sebagai keputusan yang keliru besar. Jika Blok Migas Siak ini kembali kita serahkan pengelolaannya kepada CPI, kapan Pertamina bisa maju berkembang mengejar ketertinggalannya dari perusahaan / BUMN asing. Pertamina sebagai BUMN Migas Indonesia saat ini hanya mampu bukukan laba Rp. 25 triliun, bandingkan dengan Petronas Malaysia yang mencatat laba sekitar Rp. 160 triliun pada 2012 lalu.
Kengototan pihak CPI meraih kembali hak pengelolaan Blok Siak tidak semata - mata hanya ingin mempertahankan keutungan besarnya di blok migas yang berproduksi 1.600 - 2.000 barrel per hari, melainkan juga karena terkait erat dengan pengelolaan Blok Rokan oleh CPI melalui anak perusahaannya Chevron Rokan, secara keseluruhan ditargetkan dapat produksi minyak 328.000 barrel per hari. Pengalaman sebelumnya ketika masih bernama PT. Caltex, menunjukan keterkaitan antar blok migas satu sama lainnya terhadap produksi minyak di blok migas yang dikelola CPI.
Namun, apapun alasannya, Pemerintah Indonesia cq. Menteri ESDM cq. SKK Migas tidak boleh begitu saja melepaskan pengelolaan Blok Migas Siak kembali kepada CPI. Pemerintah harus tegas dan rakyat harus mengawasi dan menjaga keputusan pemerintah Indonesia terkait Blok Siak ini. Apalagi di tengah - tengah beredarnya informasi bahwa CPI akan gunakan segala cara agar dapat kembali mengelola Blok Siak. Itu artinya, uang suap jutaan bahkan puluhan juta USD kepada oknum - oknum pejabat tinggi RI sangat mungkin digunakan sebagai pendorong keputusan pemerintah Indonesia untuk memperpanjang kontrak Blok Siak kepada CPI.
Point terpenting dalam rapat kami minggu lalu itu adalah bahwa rakyat Indonesia harus disadarkan realitas sikap mental pejabat - pejabat tinggi pemerintah RI, cenderung menyerahkan kembali pengelolaan blok - blok migas yang telah berakhir kontraknya kepada kontraktor asing, seeprti Blok Siak, Blok Mahakam dan lain - lain. Sementara itu, untuk Blok Kampar, Riau yang berproduksi 1.400 - 1.600 bpd sudah berakhir kontraknya pada Juli 2013 lalu. Belum diketahui apakah tetap dikelola Medco E & P atau diserahkan kepada Pertamina atau malah diberikan ke kontraktor asing. Jika mayoritas blok migas Indonesia diserahkan hak pengelolaanya kepada asing, itu sama saja dengan mengkhianati tujuan kemerdekaan Indonesia, melanggar konstitusi (UUD 45) khususnya pasal 33, mengerdilkan Pertamina sebagai BUMN, mengabaikan pencapaian ketahanan energi dan kedaulatan energi serta menyakiti hati rakyat Indonesia.
Perlu diwaspadai segala macam bentuk rekayasa alasan dan opini yang dikembangkan kontraktor asing dan pejabat - pejabat Indonesia kolaboratornya untuk mengkondisikan blok - blok migas itu pengelolaannya jatuh kepada asing. Kita harus lawan !
Kita harus lawan sekuat tenaga. Satukan barisan cegah Ibu Pertiwi dan sumber daya alam kita diobral dengan sangat murahnya ! Kita harus lawan sampai titik darah penghabisan …
Kita harus rebut pengelolaan blok - blok migas yang kita miliki. Jangan sampai bangsa ini terus diperbodoh dan menjadi negara raksasa tidur yang terus tidur, raksasa bodoh yang terus diperbodoh, hanya karena ulah segelintir pejabat, oknum pemerintah, politisi dan elit negeri ini yang rela menjual jiwa raganya menjadi pengkhianat bangsa hanya demi uang suap jutaan dollar yang tidak akan pernah mereka bawa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar