Menyambung tulisan sebelumnya tentang pengalaman berharga difitnah dan dicurangi oleh media online Beritasatu.com, saya lanjutkan kisahnya sebagai berikut :
Setelah memuat sebagian isi pembicaraan saya dengan Liberty staf Beritasatu.com tanpa izin dan menjadikannya seolah - olah hasil wawancara, Beritasatu.com tidak berhenti sampai di situ. Mereka juga menurunkan berita pelintiran dan tendensius, diantaranya dengan menayangkan kartu nama saya yang sebelumnya pernah saya berikan kepada Peter F Gontha dan Don Bosco ketika pertama sekali bertemu mereka di kantor First Media Grup. Beritasatu.com menulis bahwa mereka sudah mendatangi kantor PT. Lumbung Makmur dan mendapatkan kantor tersebut sudah tutup dengan meninggalkan utang sewa. Alangkah lucunya tulisan Beritasatu.com tersebut. Karena kemalasannya mereka tidak mencari tahu informasi dan fakta sebenarnya.
Perusahaan dimana saya pernah menjabat sebagai Direktur Operasional tersebut adalah anak perusahaan grup konglomerat dengan omset triliunan per tahun dan laba ratusan milyar. Kantor yang mereka sebutkan sudah tutup itu pun sebenarnya milik perusahaan, bukan sewa.
Beritasatu.com menurunkan banyak tulisan tentang saya. Namun celakanya tulisan yang dimuat 90 % keliru dan memang dimaksudkan untuk membunuh karakter saya. Tujuan jahat Beritasatu.com itu menjadi dasar saya menyampaikan protes kepada Peter F Gontha dan Don Bosco sebagai pemimpin First Media Grup yang membawahi Beritasatu.com. Melalui akunnya di twitter, Peter F Gontha mengaku bahwa informasi atau tulisan yang dimuat Beritasatu.com tersebut keliru. Namun, pada saat itu saya tidak mendengar sanksi apa yang dijatuhkan beliau terhadap Ulin Yusron dan Liberty, pemimpin redaksi dan staf Beritasatu.com atas tulisan - tulisan yang mereka muat di Beritasatu.com yang nyata - nyata telah terbukti melanggar hukum dan etika. Belakangan saya ketahui, Ulin Yusron disebutkan sudah keluar dari Beritasatu.com. Apakah dia dipecat atau mengundurkan diri akibat berita fitnah tersebut, saya tidak tahu persis dan memang bukan urusan saya untuk mengetahuinya.
Demikian juga ketika seorang perwira polisi dari polda yang memeriksa Ulin Yusron cs menanyakan apakah saya akan melanjutkan proses hukum terhadap Ulin, saya jawab tidak. Di samping saya tidak punya waktu untuk mendorong proses hukum sampai Ulin dijebloskan ke penjara, saya juga memahami bahwa apa yang dilakukannya itu atas dasar pesanan atau bayaran seseorang / pihak tertentu. Menghadapi hal - hal seperti ini sudah menjadi risiko hidup saya sejak dua puluh tahun yang lalu.
Pengalaman dengan fitnah media pasti juga dialami oleh banyak orang. Media massa kita, sejak reformasi bergulir kian kebablasan, tidak objektif, arogan dan zalim. Media massa yang semula diharapkan sebagai sarana percerdasan dan pencerahan anak bangsa, sebagian besar telah menjadi monster, juru fitnah bayaran dan pembuat opini sesat. Sesuaka hati mereka saja. Undang - undang pers yang sangat melimdungi kebebasan pers disalahgunakan oleh awak media dalam menulis dan memuat berita.
Fenomena media bayaran, pembentuk opini palsu atau juru fitnah ini juga terjadi pada media besar seperti Tempo yang terbukti beritanya sering ngawur, tendensius dan ditujukan untuk membunuh karakter tokoh tertentu atas dasar bayaran atau motif politik. Sungguh disayangkan.
Contoh nyata pembunuhan karakter tokoh tertentu oleh media massa terutama majalah Tempo, televisi TV One dan Metro TV adalah terhadap Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Tidak terhingga banyaknya informasi dan berita fitnah yang mereka tujukan ke Anas seolah - olah dia adalah raja mafia koruptor Indonesia. Setahun lebih media -media dengan bayaran sangat mahal tersebut berlomba - lomba berbuat dosa dengan memyiarkan berita fitnah. Meski akhirnya Anas Urbaningrum dijadikan tersangka oleh KPK, namun bagi orang yang menggunakan akal sehatnya, jelas sekali terlihat bahwa penetapan tersangka pada Anas itu hanyalah kriminalisasi KPK terhadap Anas. Bagaimana mungkin seseorang yang belum menjabat sebagai pejabat negara bisa dijerat delik gratifikasi atas sebuah mobil yang diterima (kemudian terbukti telah dibelinya secara mencicil), dapat ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Aneh bin ajaib. Zalim bin keji. Semoga Allah mengampuni orang - orang yang laknat itu. Dibukakan mata, akal dan hati nuraninya.
Bilamana ada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan media, mekanisme yang ditempuh paling banter dengan mengirimkan bantahan, koreksi atau klarifikasi untuk dimuat di kolom surat pembaca yang jarang dibaca itu. Sedangkan nama baik pihak yang dirugikan sudah terjadi. Apa lah arti sebuah surat pembaca atau sanggahan yang dimuat media sebagai mekanisme hak jawabnya jika hal tersebut tidak memberikan pelajaran atau sanksi terhadap media dan wartawannya yang sudah melanggar hukum dan etika. Apalagi redaksi dan wartawan tersebut dengan mudah berkelit dari sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya dengan berlindung di balik UU Pers yang salah kaprah itu.
Era reformasi tidak menyababkan media massa kita serta merta menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Malah lebih banyak sebaliknya. Hanya dengan bayaran puluhan atau ratusan juta, sebuah koran atau majalah terkemuka dengan mudah membuat serial berita palsu untuk membangun atau membentuk opini publik palsu. Media seperti inilah yang sering dijuluki sebagai media pelacur. Media tak bermoral. Hanya pentingkan aspek komersil untuk keuntungan perusahaan dan pribadi awak medianya. Hati -hatilah dengan media massa seperti ini karena sesungguhnya media seperti ini sangat merusak moral bangsa.
Bagaimana cara mengatasi media massa yang brengsek seperti ini ? Sulit menjawabnya. Tapi sebagian orang terpaksa menempuh cara main hakim sendiri dengan menyerbu kantor media tersebut dan menjadikanya kacau balau porak poranda. Perbuatan main hakim sendiri yang tentu saja tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum. Ke depan mari kita dorong revisi UU Pers Nasional yang dapat mendorong terwujudnya pers nasional Indonesia yang bebas, profesional, independen, cerdas, cermat, beretika dan bertanggung jawab. Semoga. Aamiin. (Raden Nuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar